Selasa, 27 November 2012

perompak somalia sebuah jurnal

Laelly Marlina P
Analisis Jurnal Internasional

Tentang

Fighting Piracy in Somalia (and Elsewhere):
Why More Is Needed






Pembajakan di laut (piracy) merupakan kejahatan internasional(“international crime”) yang memberikan yurisdiksi kepada Negaramanapun untuk mengambil langkah tegas terhadapnya. Persoalan pembajakan laut yang berlangsung sejak berabad-abadkhususnya di wilayah yang kerap dilewati oleh pelayaran internasionalmerupakan pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai, termasukpembajakan laut yang terjadi di wilayah perairan Somalia Sejak ditemukannya kapal sebagai sarana untuk melakukan penjelajahan laut, teknologi pelayaran telah berkembang begitu pesat. Bersamaan dengan itu, penggunaan kapal dan teknologi pelayaran juga menjadi sarana baru untuk melakukan kejahatan.

Tindakan perompakan (Piracy) menjadi permasalahan baru bagi masyarakat. Perompakan adalah tindakan menyerang kapal oleh sekelompok orang secara pribadi (tidak terkait dengan negara) dengan tujuan menguasai kapal tersebut beserta dengan muatannya, biasanya yang menjadi sasaran adalah kapal-kapal dagang yang mengangkut banyak harta dan muatan berharga yang bisa dijual lagi.

Sejarah kegiatan perompakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Catatan sejarah tertua menunjukkan bahwa tindakan perompakan sudah dilakukan oleh suku manusia laut di wilayah Aegean dan Mediteranean pada abad 13 SM . Perkembangan masa penjelajahan laut untuk mencari daratan baru yang dikenal dengan era ”Dunia Baru”, menjadi masa-masa keemasan era perompak.

Kegiatan perompakan ternyata tidak berhenti sampai disitu, bahkan mengikuti perkembangan zaman hingga ke masa sekarang. Kegiatan perompakan yang mulai dilupakan orang dan hanya dianggap sebagai sejarah, kembali menjadi pusat perhatian sejak terjadinya kasus perompakan di Somalia beberapa tahun silam.

Maraknya pembajakan yang terjadi di Somalia membuat dunia internasional tidak dapat menutup mata akan hal itu hingga puncaknya pada 2005 banyak organisasi mengeluhkan pembajakan yang menjadi ancaman utama shipping internasional. Selain membahayakan nyawa, pembajakan ini juga mempengaruhi kenaikan biaya shipping dan penundaan kiriman.

Pada rezim Presiden Siad Barre (1969-1991), Somalia menerima bantuan dari Denmark, Inggris, Irak, Jepang, Swedia, Uni Soviet dan Jerman Barat untuk membangun industri perikanannya. Namun sejak ia jatuh, terjadi perang sipil di negara ini.

Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebutkan, salah satu penyebab maraknya aktivitas bajak laut adalah berkurangnya pasokan perikanan yang menjadi bahan pangan utama negara ini. Saat perang sipil, banyak yang memanfaatkannya dengan sembarangan memancing di perairan Somalia.

Bahkan ada yang membuang limbah-limbah berbahaya ke wilayah itu. Akibatnya, mereka tak bisa mencari ikan. Artikel lain menyebutkan, 70% penduduk lokal setuju dengan kegiatan bajak laut sebagai kompensasi pencurian ikan-ikan mereka dan kerusakan ekosistem karena limbah.

Sejumlah bajak laut Somalia mengakui, tak adanya penjaga laut karena perang sipil menyebabkan angkatan bersenjata sendiri beralih profesi. Mereka menjadi bajak laut agar bisa melindungi wilayah lautnya.

Apabila kita ingin membicarakan persoalan mengenai bajak laut Somalia maka itu tidak lepas dari sejarah pembajakan itu sendiri. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis memaparkan rumusan masalah sebagai berikut :

   1. Bagaimanakah sejarah pembajakan secara umum dan bajak laut Somalia secara khusus
   2. Bagaimanakah penegakkan kejahatan pembajakan





BAB II

PEMBAHASAN



A.    Sejarah pembajakan

Pembajakan dianggap profesi yang terkemuka dalam mitologi Yunani. Pada abad pertama SM, pembajakan dipandang sebagai praktik yang sah di Mediterania karena bagi kekaisaran Romawi perompak dianggap sebagai budak untuk pasar mewahnya. Namun setelah perompak tersebut mengganggu rute perdagangan timur dan afrika, kaisar romawi mulai membentuk aliansi untuk melawan pembajak tersebut. Menurut hukum Romawi, semua kejahatan yang merupakan pembajakan harus terjadi di luar yurisdiksi dari setiap bangsa, bajak laut dipandang sebagai musuh seluruh umat manusia dan dapat dituntut berdasarkan hukum nasional  dan hak untuk menuntut adalah hak semua bangsa.



Sementara pembajakan dipandang sebagai kejahatan universal yang selama era Romawi. Pada abad keenam belas, perompak mengalami masa kejasaan. Karena dimasa itu Ratu Elisabeth (Inggris) menggunakan perompak untuk mendukung kekuatan armada laut Inggris dalam memerangi perdagangan spanyol. Sehingga pembajakan dianggap sebagai terorisme yang disponsori oleh negara.



Dengan berakhirnya perang Spanyol pada abad ketujuh belas, bajak laut kembali dianggap sebagai musuh semua bangsa. Namun menjelang akhir abad ketujuh belas, dengan berakhirnya perang antara negara yang memiliki angkatan laut yang kuat (Inggris, Perancis, dan Spanyol, antara lain),bajak laut yang awalnya bergerak atas nama negara pada abad ke enam belas berbalik melawan negara itu sendiri. Dalam menanggapi pergeseran tersebut, beberapa negara mulai menjadikan perompak sebagai target operasi. Pada 1696, Sir Charles Hedges di Inggris mendefinisikan pembajakan sebagai "perampokan laut " dan pada tahun 1700, Inggris meloloskan UU Pembajakan dan membentuk komisi khusus untuk mengawasi penerapan UU ini. Dengan demikian, terjadi perubahan mendasar  dalam hukum  mengenai pembajakan, dimana awalnya pembajakan dianggap sebagai hal yang sah menjadi suatu kejahatan yang menjadi yuridiksi setiap negara. Pada 1721, Inggris membentuk Undang-Undang Pembajakan yang lebih ketat, dan mengakhiri zaman keemasan pembajakan.



Selain inggris, upaya untuk melawan perompak juga dilakukan oleh negara lain. Pada tahun 1804 Angkatan Laut Amerika Serikat mencetak kemenangan melawan bajak laut Barbary, dan menandakan bahwa bajak laut dipandang sebagai ancaman internasional. Pada tahun 1856, ditandatangani Deklarasi Paris, oleh hampir semua kekuatan imperial, mengenai  segala bentuk pembajakan, dan bajak laut menjadi subjek untuk penangkapan  dan pengadilan di mana mereka ditangkap.



Deklarasi Paris dan undang-undang berikutnya menciptakan sistem  hukum yang terpisah bagi para bajak laut. Dan memandang para bajak laut sebagai sebagai individu, bukan states. Pembajakan didefinisikan sebagai alat politik di luar lingkup proses negara yang sah dan bajak laut sendiri tidak berhak atas perlindungan status kewarganegaraan  dari negara mereka berasal.

Akhir abad kesembilan belas,  bajak laut  dihubungkan dengan kejahatan  terorisme modern. Hal ini kerena berbagai pertimbangan seperti dibawah ini :

1.      pembajakan, seperti terorisme, termasuk penggunaan teror oleh aktor non-negara sebagai alat memaksa negara dan masyarakat

2.      pembajakan laut harus dipahami sebagai alat politik bagi pemerintah, swasta individu atau kelompok yang tindakannya diarahkan tujuan kebijakan yang spesifik, Dilihat dalam segi ini, seperti tindakan teroris.

3.      apabila kita meliahat secara historis motivasi bajak laut mirip dengan motivasi teroris. Bajak laut telah mengobarkan perang terhadap dunia, yang mereka dianggap tidak adil, dan teroris ditujukan untuk memesan tindakan mereka terhadap negara-negara tertentu dalam perang melawan aktor non-negara



Pada perkembangan selanjutnya, mengingat dampak dari piracy sangat mengganggu perdamaian dan keamanan dunia, maka piracy dimasukkan dalam instrumen internasional. Yang meliputi :

1.      Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation Convention on The Law of The Sea) UNCLOS 1982

Dalam UNCLOS 1982 pasal 100 disebutkan bahwa aksi kejahatan Piracy-Perompakan merupakan tindakan ilegal yang terjadi di laut lepas atau disuatu tempat diluar yurisdiksi suatu negara.

Kemudian dalam pasal 101 UNCLOS 1982, dijelaskan bahwa perompakan di laut dapat disebut sebagai piracy adalah Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan dilakukan :

(a)    Dilaut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara.

(b)   Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yuridiksi negara manapun

(c)    Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi suatu kapal atau pesawat udara pembajak, setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b).

Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini merupakan tindakan kejahatan yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional.

2.      Konvensi Roma 1988 tentang Unlawful Acts Against the Safety  of Maritime Navigation ( SUA Convention )

Peristiwa pembajakan kapal pesiar Achille Lauro yang berbendera Italia oleh kelompok gerilyawan Palestine Liberation Front ( PLF ) pada bulan Oktober 1985 membawa perubahan pada perhatian masyarakat internasional terhadap upaya memerangi pembajakan. Serangan tersebut tidak mengakibatkan kapal lain dan tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi. Berkaitan itu PBB menugaskan International Maritime Organization (IMO) untuk mengkaji tindakan kekerasan yang terjadi di laut. Dari situ  IMO melahirkan SUA  Convention yang di dalamnya menggunakan istilah pembajakan dan daftar tindakan yang digolongkan dalam isilah kekerasan di laut  ( Maritime Violence ).

Adapun tindakan-tindakan yang dimaksud ketentuan dalam Article 3 Konvensi adalah :

(1)   Setiap orang dapat dikatakan telah melakukan suatu kejahatan, jika orang tersebut melawan hukum dan dengan sengaja:

(a)    mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara kekerasan atau ancaman;

(b)   melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal yang dapat membahayakan keamanan pelayaran;

(c)    menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan pada kapal/muatannya yang dapat membahayakan keamanan pelayaran;

(d)   meletakkan sebuah perangkat atau substansi yang kemungkinan dapat menghancurkan kapal/muatannya dan dapat membahayakan keamanan pelayaran;

(e)    menghancurkan sarana dan prasarana pelayaran atau mempengaruhi operasi kapal, dimana tindakan tersebut dapat membahayakan keamanan navigasi;

(f)    menyampaikan informasi yang tidak benar, sehingga dapat membahayakan keamanan pelayaran;

(g)   membunuh atau melukai orang lain di atas kapal.

(2)   Setiap orang juga dapat dikatakan telah melakukan kejahatan jika orang tersebut:

(a)    mencoba melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan dalam ayat 1;

(b)   setiap tindak pidana yang ditetapkan dalam ayat 1 dilakukan oleh setiap orang atau kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut;

(c)    mengancam, seperti yang terdapat dalam hukum nasional, dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang agar melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau untuk melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan pada ayat 1, sub-ayat ( b), (c) dan (e), dan ancaman tersebut dapat membahayakan keamanan pelayaran.



B.     Yurisdiksi Terhadap Piracy

Masalah perompak dan Prinsip Universalitas ini dibahas dan dikukuhkan di Konvensi Jenewa 1949 berkenaan dengan tawanan-tawanan perang, perlindungan penduduk sipil dan personel yang mendeita sakit dan luka-luka serta dilengkapi dengan protokol I dan II yang disahkan pada tahun 1977 oleh Konferensi Diplomatik di Jenewa tentang penanggulangannya, baik pencegahan maupun pemberantasanya, tidaklah cukup bila hanya dilakukan oleh negara-negra secara sendiri-sendiri, melainkan membutuhkan kerjasama internasional. Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan baik lembaga-lembaga internasional seperti International criminal Police Organization (ICPO-INTERPOL) maupun kerjasama bilateral dan multilateral.



Berdasarkan menurut hukum perjanjian internsional dan menurut kebiasaan internasional, piracy merupakan kejahatan murni sehingga setiap negara memiliki yuridiksi untuk menangkap perompak dilaut bebas. Pasal 19 Konvensi Jenewa juga senada dengan Pasal 105 UNCLOS yang menyatakan Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.

Kemudian dalam Pasal 107 UNCLOS disebutkan bahwa kapal negara bendera yang boleh menangkap para pembajak adalah kapal perang dari negara yang bersangkutan.



Sedangkan pengaturan yuridiksi negara terhadap bajak laut yang terdapat dalam SUA Convention 1988 , diatur dalam Pasal 6 yang berisi

(1)   Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam pasal 3 ketika kejahatan dilakukan:

(a)    melawan untuk mengibarkan bendera negara pada waktu kejahatan dilakukan di atas kapal;

(b)   dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial;

(c)    dilakukan oleh seorang warga negara dari negara tersebut.

(2)   Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu pelanggaran jika:

(a)    tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari negara yang bersangkutan;

(b)   selama pelaku dari negara tersebut, mengancam untuk membunuh atau melukai orang lain;

(c)    tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.

(3)   Setiap negara pihak yang telah metetapkan yurisdiksi sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 2 harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Organisasi Maritim Internasional;

(4)   Setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 3 terhadap kasus-kasus di mana tersangka/pelaku berada dalam wilayahnya dan tidak mengekstradisi pelaku tersebut ke salah satu negara pihak lainnya;

(5)   Konvensi ini tidak mengenyampingkan setiap yurisdiksi kejahatan yang dilakukan sesuai dengan hukum nasional negara pihak.

Pasal 8 konvensi mengatur tentang:

(1)   pemilik kapal suatu negara bendera dapat menyerahkan setiap orang yang dicurigai telah melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan dalam pasal 3 kepada pihak yang berwenang dari negara pihak lainnya (negara penerima);

(2)   negara bendera harus memberitahukan kepada pihak yang berwenang dari negara penerima atas niatnya untuk menyerahkan pelaku tersebut dengan disertai alasan-alasannya;

(3)   negara penerima harus menerima penyerahan tersebut, kecuali memiliki alasan untuk mempertimbangkan bahwa konvensi tidak berlaku untuk itu. Penolakan tersebut harus disertai dengan pernyataan dan alasan untuk penolakan;

(4)   negara bendera harus menjamin bahwa pemilik kapal wajib memberikan bukti-bukti kepada pihak berwenang dari negara penerima atas pelanggaran yang dituduhkan.

C.     Perompak Somalia

1.      Latar Belakang Somalia

Somalia merupakan negara kecil yang beribukota di Mogadishu. Berbatasan darat dengan  jiboti di barat laut, Kenya di Barat daya, Teluk Aden dan Yaman di Utara, Ethiopiadi sebelah Barat dan Samudera Hindia di timur negara ini. Sejak tahun 90an, di wilayah Somalia terjadi  perang sipil berkepanjangan yang menelan hampir 300 ribu korban jiwa ini dan sebutan sebagai negara dengan perang sipil berkepanjangan yang telah lekat selama bertahun-tahun akhirnya mulai mengendur dan berganti menjadi sebuah negara dengan permasalahan pembajakan kapal. Tak terdengar kabar perang sipilnya karena semua itu telah berganti dengan permasalahan perompaknya yang bukan hanya merugikan Somalia secara pencitraannya, tetapi juga dunia internasional yang telah dirugikan berjuta-juta dollar hingga detik ini.



Perompakan ini mulai marak terjadi ketika Somalia mengalami pergolakan politik baik kekuasaan maupun anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada tahun 1991. Peristiwa yang menghancurkan perekonomian Somalia ini kemudian menarik masyarakat Somalia, terutama para pemudanya melakukan penangkapan ikan secara ilegal di lepas pantai Somalia. Tidak berlangsung lama,gerombolan-gerombolan pemuda ini membentuk sebuah perkumpulan dengan kedok menjaga pantai Somalia yang kian lama kian tercemar oleh pembuangan limbah beracun dari kapal-kapal asing yang berlayar di lepas pantai negara tersebut agar tetap aman. Tetapi hal inimenjadi dalih utama mengingat kemudian mereka menjadi giat dalam merampok setiap kapalyang lewat di perairan Teluk Aden ataupun Samudera Hindia.



Para perompak itu sendiri tumbuh dari nelayan-nelayan Somalia dan para pemuda- pemuda pengangguran tanpa keahlian kerja. Mereka meminta pungutan dari sejumlah kapal dagang yang lalu lalang di perairan Somalia. Bukan hanya sekedar pungutan, melainkanmenyandera awak kapal dan meminta tebusan berjuta-juta dolar apabila pihak pemilik kapalmenginginkan awak dan barang-barang dagangan mereka bebas dengan selamat.



Pada akhirnya, pantai Somalia sepanjang 3. 213 km itu kini menjelma menjadi basis- basis perompakan. Para perompak ini terbagi ke dalam dua jaringan perompak. Salah satu jaringan mereka adalah di kawasan Putland yang merupakan suatu wilayah baru lepasan negara jibouti, sedangkan jaringan lainnya adalah di Mudug, Somalia Selatan.



Di kawasan Putland, para perompak kembali membagi-bagi kawanannya ke dalam beberapa kelompok yang dimana kelompok utama bermarkas di Distrik Eyl. Kelompok-kelompok kecil perompak Putland terbagi-bagi ke wilayah Bossaso, Quandala, Caluula, Bargaal, danGaracad. Desa-desa terpencil seperti Eyl, Hobyo, dan Haradheere pun tak luput menjadi pusat gerakan perompakan para bajak laut.Para perompak ini beroperasi di perairan Teluk Aden dan di lepas Pantai Somalia.Teluk Aden sendiri merupakan sebuah kawasan perairan yang berhubungan langsung denganSamudera Hindia dan memiliki link dengan Terusan Suez dan Laut Mediterania yang dimanakedua kawasan tersebut merupakan kawasan perairan sibuk yang dilalui hampir 20.000 kapal laut setiap tahunnya.



Jelas hal ini menjadi suatu ancaman internasional yang tak boleh didiamkan terlalu lama sebelum akhirnya merusak jalannya perekonomian negara yang begitu menggantungkan diri lewat jalur laut. Salah satu contoh negara yang begitu dirugikandengan keberadaan para perompak ini adalah Mesir dengan Terusan Suez-nya yangmerupakan sumber pemasukan utama Mesir selain pariwisata, minyak, dan transfer gaji warga Mesir di luar negeri.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kegiatan aksi-aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak. Adapun faktor-faktor utama yang memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata di laut adalah sebagai berikut:





a.       Situasi ekonomi di kawasan sekitar

Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh terhadap perilaku kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut.

Berkaitan dengan perekonomian di somalia paska konflik yang berkepanjangan, perekonomian di somalia menjadi hancur. Sebagian besar rakyat somalia terutama yang tinggal dipesisir pantai berusaha mengeksploitasi hasil laut untuk meningkatkan perekonomian. Bahkan sampai ke laut bebas. Namun pada perkembangan selanjutnya tujuan tersebut berubah menjadi usaha untuk membajak setiap kapal yang melintasi laut bebas tersebut. Dan hasil dari kejahatan tersebut dijadikan sebagai National Defence bagi negara somalia

b.      Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri

Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyatnya. Masalah-masalah seperti pemenuhan kebutuhan pokok rakyat merupakan tugas pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi kepentingan umum secara bijaksana dapat mendorong sekelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan demi kepentingan kelompoknya. Sehingga dalam hal ini, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik kepada masyarakatnya.

Pemerintah Somalia yang tidak dapat mengendalikan pemberontakan tersebut membuat somalia jatuh dalam konflik yang berkepanjangan. Hal ini sangat mempengaruhi berbagai bidang kehidupan negara Somalia, baik bidang ekonomi, sosial dan politik

c.       Lemahnya sistem hukum dibidang maritim dan Rendahnya kemampuan para penegak hukum

Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal.

Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, di kapal dan di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain. Lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang terhadap aksi kejahatan di laut.

Somalia merupakan Failed State (negara gagal) dimana Somalia tidak dapat menjalankan proses pemerintahan sebagaimana mestinya, termasuk dalam soal pertahanan dan keamanan. Hal ini menjadfikan pemerintah somalia tidak dapat mengambil jalan untuk memerangi pembajakan yang dilakukan warganegaranya.

d.      Kondisi Geografis

Kondisi geografis suatu wilayah juga dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya  aksi-aksi kejahatan di laut. Yang menjadi pertimbanganan adalah apakah lokasi tersebut merupakan jalur strategis yang dilalui oleh banyak kapal atau tidak. Selain itu, para pelaku kejahatan di laut sebelum melakukan aksinya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal terlebih dahulu.



2.      Mekanisme penegakan piracy somalia

Piracy merupakan delik jure gentium. Oleh sebab itu berdasarkan Pasal 105 UNCLOS, setiap negara dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap perompakan di laut bebas. Hal ini juga didukung dengan SUA Convention 1988

UNCLOS 1982 mendefinisikan “piracy” sebagai pembajakan laut yang dilakukan di luar yurisdiksi Negara pantai, sehingga kemudian praktek Negara membedakan antara pembajakan laut yang terjadi di luar yurisdiksi Negara yang disebut sebagai pembajakan di laut bebas (piracy) dimana yurisdiksinya bersifat universal (universal jurisdiction) dan pembajakan laut yang terjadi di dalam wilayah satu Negara yang lebih dikenal dengan istilah “perampokan di laut” (sea armed robbery) dimana yurisdiksinya berada di bawah Negara pantai. Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah Somalia mempunyai yurisdiksi untuk memberantas pembajakan laut tersebut karena pembajakan terjadi di sekitar Teluk Aden yakni yuridiksi territorial Somalia.Tetapi hukum Somalia sejak tahun 2006 telah mati, dikarenakan didudukinya pemerintahan oleh sekelompok pemberontak.

Persoalan pembajakan laut yang berlangsung sejak berabad-abad khususnya di wilayah yang kerap dilewati oleh pelayaran internasional bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain :

a.       Pembajakan di laut tidak dapat dibenarkan dari segi pertimbangan apapun, baik dilakukan karena alasan ekonomis ataupun alasan politik. Kejahatan ini telah berlangsung sejak laut menjadi jalur transportasi bagi masyarakat dunia.Hukum Laut Internasional memang kemudian membagi kewenangan untuk menumpasnya dengan melihat dimana pembajakan laut itu terjadi. Jika di laut bebas maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara manapun yang ingin menumpasnya, bahkan Negara-negara diwajibkan untuk bekerjasama menumpas pembajakan tersebut,  akan tetapi jika di wilayah satu Negara khususnya laut teritorial maka sudah pasti kewenangan itu dimiliki oleh Negara pantainya.

b.      Penebusan para sandera antara pihak perusahaan dengan pihak pembajak akan ditanggung oleh pihak asuransi. Persoalan tidak selesai pada saat itu.Hal yang harus dilakukan adalah upaya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku pembajakan tersebut.Misalnya dengan dilakukannya penyerangan sistematis kepada para pembajak. Jika pembajakan ini dibiarkan diselesaikan perkasus dengan cara pembayaran uang tebusan, maka dampak ganda akan terlihat. Pertama, para pembajak akan tergoda untuk mencoba lagi karena yakin bahwa pasti akan dibayar. Kedua, setiap kapal akan berlomba-lomba memakai asuransi dan pihak asuransi akan menerapkan biaya asuransi yang cukup mahal mengingat resiko yang akan ditanggungnya. Hal ini berarti secara tidak langsung membiarkan pembajakan tetap terjadi dan akan semakin menaikkan biaya pengiriman barang yang akibatnya akan mempengaruhi harga jual barang sehingga perdagangan internasional terganggu, karena tidak lagi efisien dan berbiaya tinggi.

c.       Setiap Negara memiliki yurisdiksi dalam hukum internasional, termasuk yurisdiksi terhadap warga negaranya dimanapun dia berada, baik yurisdiksi nasionalitas aktif (dimana warga negaranya menjadi korban kejahatan) maupun yurisdiksi nasionalitas pasif (dimana warga negaranya menjadi korban dari kejahatan).Setiap Negara berbeda-beda dalam meng”exercise” yurisdiksinya tersebut.

Untuk menumpas pembajakan di laut, maka setiap negara yang dirugikan menurunkan pasukannya untuk mengejar dan menangkap pembajak tersebut. Bahkan membawanya Pengadilan Internasional untuk mengadilinya, karena negara yang dirugikan itu memiliki yurisdiksi terhadapnya apalagi diperkuat dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB.

3.      Langkah Internasional

Perompakan yang dilakukan perompak Somalia memancing aksi respon dari dunia internasional yang mengecamkeras tindakan perompakan di perairan lepas pantai Somalia. Beberapa negara-negara yang menentang aksi pembajakan antara lain Amerika Serikat, Cina, Jepang, Rusia, dan Perancis. Jepang bahkan telah mempersipakan dua kapal perusaknya yang dilengkapi dengan helikopter patroli SH-60k di Pangkalan Kure, Jepang. Kapal perusak bernama Samidare dan Sazanami ini akan bertugas dalam misi internasional dan anti-perompakan di lepas pantai Somalia. Cina pun ikut mengirimkan kapal perangnya dalam aksi anti-perompakan.

Semua negara-negara bagaikan ikut bergerak dalam upaya penumpasan perompak Somalia, namun apa daya ini semua ternyata berbanding terbalik dari kenyataannya bahwa dari hari ke hari tingkat perompakan semakin meningkat tajam saatangkatan laut-angkatan laut dunia Internasional semakin meningkatkan keberadaanmiliternya di laut Somalia.



Uni Eropa yang sebagian besar negara-negara anggotanya pernah menjadi sasaran para pembajak pun tidak tinggal diam. Sebuah patroli yang diberi nama EU NAVFOR (European Union Naval Force Somalia) yang bertujuan untuk mengatasi perompak Somaliayang semakin lama semakin tidak bisa ditolerir. Memperluas jangkauan hingga ke Seychellesdan Lautan Hindia menjadikan EU NAVFOR harus berhati-hati mengingat kapal-kapal pembajak Somalia tidak pernah merasa takut sedikitpun untuk melakukan perompakan meskipun kapal-kapal patroli keamanan berlayar tidak jauh dari mereka. Hal ini tampaknya bukan menjadikan patroli keamanan gabungan sebagai the only one solution mengingat akibat dari adanya patroli, para bajak laut cenderung memperluas jalur operasi mereka hingga ke Samudera Hindia dan Laut Merah bagian selatan.

Para perompak pun telah dipersenjatai oleh senapan mesin dan granat roket, sehingga mengakibatkan jalur perdagangan yang menghubungkan benua Eropa dan Asia itu semakin tidak aman. Rusia sebagai sebuah negara yang begitu menggantungkan ekonominya lewat jalur laut, terutama Teluk Aden, menyerukan agar penyergapan para perompak tidak dilakukan dilaut, melainkan di darat. Pemerintahan Moskwa mengusulkan agar NATO, UNI Eropa, dan lainnya untuk melakukan serangan ke basis-basis perompak yang berada di darat. North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi internasional ini memiliki misi khusus menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Atlantik dan sebagaimana dilontarkan oleh Sekjen NATO Hoop Scheffer NATO berkomitmen membantu pengamanan di Afrika.



Inggris menjalin kemitraan dengan Negara Kenya dalam hal penuntutan Perompak Somalia. Dimana apabila Inggris berhasil menangkap perompak Somalia maka akan segera mengirim mereka ke negara Kenya untuk segera dilakukan penuntutan.



Selain upaya yang dilakukan oleh negara. Pemberantasan perompak juga dilakukan oleh Organisasi Bahari Internasional antara lain International Maritime Organization (IMO) dan International Maritime Bureau (IMB). IMO merupakan  badan khusus PBB yang menangani bidang kelautan, juga menggunakan ketentuan UNCLOS III 1982 tentang Pembajakan. Sedangkan IMB didirikan oleh ICC (International Chamber of Commerce)  pada tahun 1981, bertugas meningkatkan kesadaran anggotanya mengenai keselamatan dan kejahatan yang terjadi di laut.

Namun yang menjadi kendala bagi langkah-langkah internasional tersebut adalah bahwa perompak Somalia keika telah melakukan perompakan dilaut bebas, mereka dengan cepat kembali masuk keperairan negara Somalia. Sehingga langkah-langkah yang diambil beberapa negara tersebut terhambat oleh kedaulatan negara Somalia seperti yang diatur dalam UNCLOS 1982. Apabila kedaulatan suatu negara dicampuri oleh negara lain, maka negara yang bersangkutan dibolehkan untuk memberikan sikap tegas kepada negara yang mencampuri urusan kedaulatannya, tetapi yurisdiksi itu tidak berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah asing yang menikmati kekebalan. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat beberapa prinsip yang sering dianut oleh suatu negara. Menurut Jawahie Tantowi dan Pranoto Iskandar prinsip-prinsip tersebut adalah :

a.       Teritorial

b.      The ‘Effect’ Doctrine

c.       Kebangsaan

d.      Prinsip Nasionalitas Pasif

e.      Prinsip Protektif

f.        Prinsip Universal

g.       Treaty-Bassed Extensions of Jurisdiction

Negara yang memasuki kedaulatan negara lain (kedaulatan negara atas wilayah laut) juga telah melanggar  UNCLOS 1982.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai sebuah organisasi yang menaungi Somalia dan negara-negara di dunia jelas tidak ambil diam. Dalam tujuan Piagam PBB dikatakan bahwa Tujuan PBB adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan menghindari ancaman keamanan serta menekan seluruh aksi penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan mengadakan, secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi, yang bersifat internasional, yang dapat diubah ke arah  terciptanya perdamaian.

Berdasarkan piagam ini, sangat jelas diatur bahwa sebagai anggota PBB berhak menuntut kepada PBB agar segera menciptakan keamanan di wilayah Teluk Aden. Wilayah wilayah tersebut adalah laut teritorial Somalia, namun dikarenakan lemahnya Penegakan hukum di Somalia serta berbagai krisis yang melanda negara tersebut, maka Pemerintah Somalia tidak dapat berbuat banyak dalam rangka mengamankan wilayah tersebut. Salah satu jalan yang dapat dilakukan oleh PBB adalah dengan meningkatkan keamanan di wilayah tersebut, melalui organ keamanannya dan bekerjasama dengan negara-negara tetangga atau negara yang memiliki kepentingan melewati jalur tersebut.

Untuk menanggapi kendala yang timbul dalam proses penangkapan perompak somalia, Dewan Keamanan PBB dalam konferensinya yang membahas mengenai perompakan dan keamanan di perairan Somalia mengeluarkansebuah resolusi No. 1816 pada tanggal 2 Juni 2008. Resolusi tersebut mendorong negara-negara yang khususnya memiliki kepentingan dengan rute maritime komersial di lepas pantai Somalia, untuk meningkatkan dan mengkoordinasikan upaya-upaya untuk penanganan perompak dan pembajakan bersenjata yang dimana didalamnya dilakukan kerjasama dengan Pemerintah Transisi Federal Somalia. Resolusi No. 1816 yang disponsori oleh Perancis pun ikut diperkuat dengan resolusi No. 1838 pada tanggal 7 Oktober tahun 2008 yang meminta kepada negara-negara yang memiliki kepentingan di perairan Somalia untuk menindas pembajakan di perairan Somalia. Pertemuan demi pertemuan terus dilangsungkan guna mencegah semakin meluasnya jalur operasi para bajak laut.

Dengan keluarnya resolusi Dewan Keamanan PBB setidaknya akan memicu dan menstimulus dunia internasional dalam upaya memerangi Perompak Somalia. Melihat sifat gangguan keamanan berupa perompakan oleh sebagian kecil warga negara Somalia, PBB dalam rangka meningkatkan keamanan di wilayah Teluk Aden harus bekerjasama dengan subjek HI lainnya, yaitu dengan organisasi internasional yang memiliki tujuan yang sama dan dengan negara-negara yang memiliki kemampuan untuk mengirimkan bantuan ke wilayah tersebut dan memiliki kepentingan terhadap keamanan diwilayah itu. Tindakan ini merupakan tindakan yang paling cepat dan efektif sebelum kejahatan tersebut membesar dan semakin membahayakan kewasan lainnya. Hal ini berdasarkan Pasal 107 “Penangkapan lantaran perampokan hanya boleh dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat terbang militer atau kapal atau pesawat terbang lain yang sedang menjalankan tugas pemerintahan dengan tugas untuk maksud itu”.

Terhadap pelaku perompakan akan segera diadili menurut hukum negara yang memungkinkan mengadili kejahatan tersebut. Jika Somalia tidak memiliki kemampuan dalam meneggakkan hukumnya, maka Negara tatangga yang memiliki kepentingan dalam rangka meningkatkan keamanan dan memiliki peraturan mengenai kejahatan perompakan berhak untuk mengadili para perompak. Hal ini seperti apa yang telah dilakukan oleh angkatan laut Inggris, yang menyerahkan tindak pelaku kejahatan perompak kepada pengadilan Kenya.





























BAB III

PENUTUP

   1. Simpulan

Tindakan perompakan telah ada hampir sepanjang sejarah manusia dan berkembang mengikuti kemajuan zaman. Perompakan merupakan kejahatan internasional dimana setiap negara bisa menerapkan yursidiksinya. Dalam insiden pembajakan dilaut, motif ekonomi sangat tampak terlihat dengan “kehadiran” uang tebusan yang diminta kepada pemilik kapal atau operator kapal untuk membebaskan para sandera.  Pemicu terjadinya perompakan yang terjadi di Somalia terdiri dari empat factor yaitu : Situasi ekonomi di kawasan sekitar; Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri; Lemahnya sistem hukum dibidang maritim dan Rendahnya kemampuan para penegak; Kondisi Geografis.

Piracy tidak hanya mengganggu keamanan nasional Somalia, yang sedang mengalami krisis lemah penegakan hukum, bahkan mengancam keamanan internasional. Hal inidisebabkan kejahatan telah dilakukan pada taraf internasional, yaitu kejahatan yang telah dilakukan terhadap bendera kapal asing dan warga negara asing yang melintasi perairan tersebut.

Kedaulatan suatu negara memang tidak boleh dilanggardan atau dicampuri oleh negara lain, akan tetapi dalam hal ini, suatu negara diperbolehkan untuk memakai yurisdiksinya, selagi dalam batasan Kebiasaan HukumInternasional, Ketentuan Konvensi-konvensi dan Piagam PBB

Mengenai hal ini ditangani atas dasar au dedere au punere, yaitu para pelakunya dihukum oleh negara dimana dalam wilayahnya mereka ditangkap atau diektradisikan kepada negara yang memiliki kewenangan dan kewajiban melaksanakan yurisdiksi terhadap mereka.

Upaya kerjasama antar negara dan organisasi internasional merupakan upaya yangtepat mencegah berkembangnya kembali kawanan perompak Somalia. Pemerintah Somalia bolehlah gagal, namun melalui semangat berintegrasi maka permasalahan ini bisa dengancepat diatasi meskipun melalui proses bertahap

B.     Saran

1.      Perlu adanya kepastian hukum terlebih dahulu dari pemerintahSomalia untuk mewujudkan stabilitas keamanan dalamnegerinya, serta pembangunan dan sistem peradilan pidana yang efektif di negara ini terutama yang berkaitan dengan kejahatanpelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut;

2.      Perlu adanya suatu jaminan ekonomi terhadap masyarakat Somalia;

3.      Perlu adanya tekanan dan ancaman yang keras dari organisasi-organisasi internasional terutama PBB dalam pemberantasankejahatan tersebut, serta memboikot penyaluran peralatansenjata bagi para pelaku kejahatan;

4.      Bagi negara-negara maju dan memiliki persenjataan yangcanggih, hendaknya bersatu untuk melawan kejahatan pelayarantersebut mengingat tindakan ini sangat mengganggu keamananpelayaran internasional;

5.      Perlu dibentuk sebuah peradilan/tribunal internasional yangkhusus mengadili para pelaku tindak kejahatan di bidangpelayaran, khususnya pelaku pembajakan dan perompakan dilaut.

2 komentar:

  1. Halo kakak, ada sumber buku mengenai tulisan ini tidak? share dong. terima kasih

    BalasHapus
  2. Betfred Casino & Hotel - Mapyro
    Welcome to the Betfred Casino 세종특별자치 출장샵 & 1xbet korean Hotel, home of The 이천 출장샵 World's Top Poker. 화성 출장마사지 Betfred was founded 포항 출장안마 in the early '90s to create the world's leading poker room. The

    BalasHapus